Syamsul Jahidin - ANALISIS TERHADAP UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (UU ITE)
MAKALAH
ANALISIS TERHADAP
UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (UU ITE)
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Komunikasi Dan Regulasi
Kelompok 3:
Atika Suri : 22010600010
M Farouq Ibrahim : 22010600013
Syamsul Jahidin : 22010600019
Irfan Nugroho : 22010600002
Marcel Soselisa : 22010600018
Aji Faisal : 22010600015
Farah Nabila Darwis : 22010600003
Dosen:
Dr. Fal. Harmonis, M.Si
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2022
PEMBAHASAN
ANALISIS TERHADAP
UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (UU ITE)
Landasan Historis dan Sosiologis UU ITE
Landasan Historis UU ITE
Gagasan adanya UU ITE bermula sekitar awal tahun 2000 saat era Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Ketika itu, masih terjadi kekosongan hukum di ranah dunia maya atau siber. Sehingga 2 perguruan tinggi negeri, Universitas Indonesia dan Universitas Padjadjaran, masing-masing menyusun konsep RUU cyberlaw. Unpad yang dipimpin Prof. Mieke Komar Kantaatmadja, menyusun RUU cyberlaw sebagai UU yang memayungi seluruh aturan teknologi informasi. Sehingga RUU cyberlaw versi Unpad bersifat umum yang mengatur mulai dari perlindungan hak pribadi, e-commerce, persaingan usaha tidak sehat, perlindungan konsumen, hak kekayaan intelektual, dan tindak pidana siber. Konsep cyberlaw Unpad tersebut bernama RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi (TI).
Sedangkan RUU cyberlaw versi UI diinisiasi Lembaga Kajian Hukum Teknologi (LKHT) Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang dipimpin Edmon Makarim. Konsep RUU cyberlaw versi UI bersifat spesifik, hanya mengatur yang berkaitan dengan transaksi elektronik, semisal tanda tangan digital. UI menamainya RUU Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik (IETE).
Sementara itu Kepala Biro Humas Kominfo, Ferdinandus Setu, dalam keterangannya pada Februari 2019 menyatakan, gagasan UI dan Unpad kemudian digabung menjadi satu naskah RUU pada 2003. Saat itu, era Presiden Megawati di mana Menteri Negara Komunikasi dan Informasi dijabat Syamsul Mu'arif.
Namun menurutnya, cyberlaw versi Unpad bernama RUU Tindak Pidana Teknologi Informasi. Sedangkan versi UI yakni RUU e-Commerce. RUU Tindak Pidana Teknologi Informasi memang diusulkan Unpad, tapi berbeda dengan cyberlaw. RUU tersebut bahkan pernah masuk ke prolegnas DPR 2010 namun menguap begitu saja karena sudah ada UU ITE.
Sementara itu dalam perumusan RUU ITE, Nando menyebut pada 2005 atau saat Presiden SBY memimpin, Kominfo (saat itu Departemen Kominfo) membentuk Panitia Kerja (Panja) yang beranggotakan 50 orang. Pembahasan RUU ITE dilakukan dalam rentang 2005-2007 saat Kominfo dipimpin Sofyan Djalil dan berlanjut ke Mohammad Nuh.
Ketika itu, Nando menyatakan, Kominfo dalam pembahasan RUU ITE menggunakan landasan teori sintesa/hybrid yang merupakan gabungan atau kombinasi antara teori instrumental dan teori substantif. Teori instrumental menyatakan teknologi itu netral. Sebaliknya, teori substantif menyatakan teknologi tidak netral, seperti ketika seseorang menciptakan smartphone, tapi kemudian didikte oleh smartphone.
Setelah melalui pembahasan di DPR yang berlangsung sejak 2003, UU ITE akhirnya disahkan DPR pada 25 Maret 2008. UU ITE kemudian diteken Presiden SBY pada 21 April 2008 dan diundangkan di hari yang sama.
Bagian pertama UU ITE mengatur persoalan e-commerce seperti market place, nama domain, tanda tangan elektronik baik yang digital (mengandung algoritma private dan public key infrastructure) maupun non digital (scan tanda tangan, password, pin, dan sidik jari).
Bagian kedua UU ITE terkait tindak pidana teknologi informasi memuat banyak sub bagian. Sub bagian satu adalah ilegal konten seperti informasi SARA, ujaran kebencian, informasi bohong/hoaks, penipuan online, pornografi, judi online, dan pencemaran nama baik.
Sub bagian dua adalah akses ilegal seperti hacking. Sub bagian tiga mengenai illegal interception seperti penyadapan, dan sub bagian empat mengenai data interference seperti gangguan atau perusakan sistem secara ilegal yang tertuang.
Tak lama usai disahkan, UU ITE ketika itu sudah mendapat berbagai kritik. Ancaman kriminalisasi menggunakan UU ITE sudah lama disuarakan berbagai pihak, secara khusus terhadap berlakunya Pasal pencemaran nama baik dan ujaran kebencian/SARA.
Landasan Sosiologis UU ITE
Salah satu pertimbangan sosiologis lahirnya UU ITE yaitu mendukung pengembangan teknologi informasi melalui infrastruktur hukum dan pengaturannya, sehingga pemanfaatannya dilakukan secara aman untuk mencegah penyalahgunaan dengan memperhatikan nilai-nilai agama dan sosial budaya masyarakat Indonesia. UU ITE ini adalah produk legislasi yang sangat dibutuhkan dan menjadi pionir yang meletakan dasar pengetahuan dibidang pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik.
Konsiderans menunjukkan bahwa lahirnya UU ITE ini sebagai upaya pencegahan dari pengembangan teknologi informasi yang dilakukan dengan cara-cara yang tidak aman dan merugikan orang lain. Point pentingnya terdapat dalam nilai-nilai agama dan sosial-budaya dalam masyarakat. Tetapi, penegakan hukum in concreto-nya jauh dari harapan politik hukum.
Kandungan dan Regulasi UU ITE
Pengertian UU ITE
Information technology atau Teknologi informasi adalah istilah umum untuk teknologi digital yang membantu manusia dalam membuat, mengomunikasikan, menyimpan, mengubah dan/atau menyebarkan informasi. Dalam perkembangannya teknologi informasi dan komunikasi menyebabkan perubahan dalam semua aspek, antara lain; aspek sosial, ekonomi, dan budaya secara signifikan dan berlangsung secara cepat.
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Undang Undang nomor 11 tahun 2008 atau UU ITE adalah UU yang mengatur tentang informasi serta transaksi elektronik, atau teknologi informasi secara umum.
Cakupan UU ITE
UU ini memiliki yurisdiksi yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia. Cakupan UU ITE dapat dilihat dari struktur UU ITE, yaitu :
BAB I : Ketentuan Umum
BAB II : Asas dan Tujuan
BAB III : Informasi, Dokumentasi, dan Tanda Tangan Elektronik
BAB IV : Penyelenggara Sertifikasi Elektronik dan Sistem Elektronik
BAB V : Transaksi Elektronik
BAB VI : Nama Domain, HAKI, dan Perlindungan Hak Pribadi
BAB VII : Perbuatan Yang Dilarang
BAB VIII : Penyelesaian Sengketa
BAB IX : Peran Pemerintah dan Peran Masyarakat
BAB X : Penyidikan
BAB XI : Ketentuan Pidana
BAB XII : Ketentuan Peralihan
BAB XIII : Ketentuan Penutup
Tujuan Pembentukan UU ITE
Tujuan dari pembentukan UU ITE tercermin dari Pasal 4 UU ITE, yaitu untuk:
Mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia;
Mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
Meningkatkan efektivitas dan pelayanan publik;
Membuka kesempatan seluas-luasnya pada setiap Orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab; dan
Memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi
Istilah Dalam Undang-Undang
Beberapa istilah yang ada dalam UU ITE, diantaranya adalah sebagai berikut:
Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya.
Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi.
Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik.
Penyelenggaraan Sistem Elektronik adalah pemanfaatan Sistem Elektronik oleh penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat.
Jaringan Sistem Elektronik adalah terhubungnya dua Sistem Elektronik atau lebih, yang bersifat tertutup ataupun terbuka.
Agen Elektronik adalah perangkat dari suatu Sistem Elektronik yang dibuat untuk melakukan suatu tindakan terhadap suatu Informasi Elektronik tertentu secara otomatis yang diselenggarakan oleh Orang.
Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam Transaksi Elektronik yang dikeluarkan oleh Penyelenggara Sertifikasi Elektronik.
Penyelenggara Sertifikasi Elektronik adalah badan hukum yang berfungsi sebagai pihak yang layak dipercaya, yang memberikan dan mengaudit Sertifikat Elektronik.
Lembaga Sertifikasi Keandalan adalah lembaga independen yang dibentuk oleh profesional yang diakui, disahkan, dan diawasi oleh Pemerintah dengan kewenangan mengaudit dan mengeluarkan sertifikat keandalan dalam Transaksi Elektronik.
Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.
Penanda Tangan adalah subjek hukum yang terasosiasikan atau terkait dengan Tanda Tangan Elektronik.
Komputer adalah alat untuk memproses data elektronik, magnetik, optik, atau sistem yang melaksanakan fungsi logika, aritmetika, dan penyimpanan.
Akses adalah kegiatan melakukan interaksi dengan Sistem Elektronik yang berdiri sendiri atau dalam jaringan.
Kode Akses adalah angka, huruf, simbol, karakter lainnya atau kombinasi di antaranya, yang merupakan kunci untuk dapat mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik lainnya.
Kontrak Elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui Sistem Elektronik.
Pengirim adalah subjek hukum yang mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
Penerima adalah subjek hukum yang menerima Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dari Pengirim.
Nama Domain adalah alamat internet penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat, yang dapat digunakan dalam berkomunikasi melalui internet, yang berupa kode atau susunan karakter yang bersifat unik untuk menunjukkan lokasi tertentu dalam internet.
Orang adalah orang perseorangan, baik warga negara Indonesia, warga negara asing, maupun badan hukum.
Badan Usaha adalah perusahaan perseorangan atau perusahaan persekutuan, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
Pemerintah adalah Menteri atau pejabat lainnya yang ditunjuk oleh Presiden.
Regulasi UU ITE
UU ITE atau Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah undang-undang yang mengatur mengenai informasi elektronik dan juga transaksi elektronik. Informasi elektronik disini adalah sebagai satu ataupun sekumpulan data elektronik, tapi tidak terbatas pada tulisan saja. Yang mana termasuk juga suara, peta, gambar, rancangan, elektronik data interchange atau EDI, foto, surat elektronik atau email, teleks, telegram, huruf, tanda, simbol, kode akses, ataupun perforasi yang sudah diolah dan mempunyai arti serta bisa dipahami oleh orang-orang yang bisa memahaminya.
Sementara transaksi elektronik merupakan perbuatan hukum yang dilakukan dengan cara menggunakan komputer, jaringan komputer, dan juga media elektronik lain. UU ITE pada dasarnya dibentuk untuk mengatur sistem perdagangan digital, termasuk penipuan berbasis online.
Kandungan UU ITE
Secara umum, materi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu pengaturan mengenai informasi dan transaksi elektronik dan pengaturan mengenai perbuatan yang dilarang. Pengaturan mengenai informasi dan transaksi elektronik mengacu pada beberapa instrumen internasional, seperti UNCITRAL Model Law on eCommerce[1]dan UNCITRAL Model Law on eSignature.[2] Bagian ini dimaksudkan untuk mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat umumnya guna mendapatkan kepastian hukum dalam melakukan transaksi elektronik.
Beberapa materi yang diatur, antara lain:
1. pengakuan informasi/dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah (Pasal 5 & Pasal 6 UU ITE);
2. tanda tangan elektronik (Pasal 11 & Pasal 12 UU ITE);
3. penyelenggaraan sertifikasi elektronik (certification authority, Pasal 13 & Pasal 14 UU ITE); dan
4. penyelenggaraan sistem elektronik (Pasal 15 & Pasal 16 UU ITE)
5. perbuatan yang dilarang (cybercrimes). Beberapa cybercrimes yang diatur dalam UU ITE, antara lain:
a. konten ilegal, yang terdiri dari, antara lain: kesusilaan, perjudian, penghinaan/pencemaran nama baik, pengancaman dan pemerasan, berita bohong, Ujaran Kebencian, teror online (Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 UU ITE);
b. akses ilegal (Pasal 30);
c. intersepsi ilegal (Pasal 31);
d. gangguan terhadap data (data interference, Pasal 32 UU ITE);
e. gangguan terhadap sistem (system interference, Pasal 33 UU ITE);
f penyalahgunaan alat dan perangkat (misuse of device, Pasal 34 UU ITE);
g. Pemalsuan dokumen elektronik (Pasal 35 UU ITE)
Penyusunan materi UU ITE tidak terlepas dari dua naskah akademis yang disusun oleh dua institusi pendidikan yakni Universitas Padjadjaran(Unpad) dan Universitas Indonesia(UI). Tim Unpad ditunjuk oleh Departemen Komunikasi dan Informasi sedangkan Tim UI oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Pada penyusunannya, Tim Unpad bekerjasama dengan para pakar di Institut Teknologi Bandung yang kemudian menamai naskah akademisnya dengan RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU PTI). Sedangkan tim UI menamai naskah akademisnya dengan RUU Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik.
Kedua naskah akademis tersebut pada akhirnya digabung dan disesuaikan kembali oleh tim yang dipimpin Prof. Ahmad M Ramli SH (atas nama pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono), sehingga namanya menjadi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana disahkan oleh DPR.
Peraturan Pelaksana Undang-undang
Sembilan pasal UU ITE mengamanatkan pembentukan Peraturan Pemerintah:
1. Lembaga Sertifikasi Keandalan (Pasal 10 ayat 2);
2. Tanda Tangan Elektronik (Pasal 11 ayat 2);
3. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik (Pasal 13 ayat 6);
4. Penyelenggara Sistem Elektronik (Pasal 16 ayat 2);
5. Penyelenggaraan Transaksi Elektronik (Pasal 17 ayat 3);
6. Penyelenggara Agen Elektronik (Pasal 22 ayat 2);
7. Pengelolaan Nama Domain (Pasal 24);
8. Tata Cara Intersepsi (Pasal 31 ayat 4);
9. Peran Pemerintah dalam Pemanfaaatan TIK (Pasal 40);
Beberapa isu Pembahasan dan perkembangan yang Timbul dalam Penerapan
1. Penyelenggaran Sistem Transaksi Elektronik
Dalam perjalanannya, poin no. 1-7 dijadikan satu peraturan pemerintah, dan juga sudah disahkan yaitu Peraturan Pemerintah no. 82 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem Transaksi Elektronik ('PP PSTE'). Peraturan Pemerintah ini disusun sejak pertengahan tahun 2008 dan disampaikan ke Kemkumham awal tahun 2010. Kemudian dilakukan harmonisasi pertama, dan Menkumham menyerahkan hasilnya ke Menkominfo pada 30 April 2012. Menkominfo menyerahkan Naskah Akhir RPP ini ke Presiden pada 6 Juli 2012 dan ditetapkan menjadi PP 82 tahun 2012 pada 15 Oktober 2012. PP ini mengatur sistem elektronik untuk pelayanan publik dan nonpelayanan publik, sanksi administratif, tanggungjawab pidana serta perdata penyelenggara, sertifikasi, kontrak, dan tanda tangan elektronis, serta penawaran produk melalui sistem elektronik. (Aspek Hukum Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, Ronny, 2013)
2. Tata Cara Intersepsi
Poin nomor 8 tadinya sempat direncakan menjadi Peraturan Pemerintah tersendiri, akan tetapi koalisi masyarakat menggugat pasal ini ke Mahkamah Konstitusi tahun 2011. Mahkamah menyetujui serta mengharuskan Pasal ini dibuat Undang Undang tersendiri bukannya Peraturan Pemerintah karena intersepsi atau penyadapan membatasi sebagian hak asasi manusia yang menurut pasal 28J UUD 1945, harus berbentuk Undang Undang.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan bahwa RPP merupakan bentuk potensi intervensi Eksekutif terhadap lembaga penegak hukum, khususnya KPK, mengingat Pusat Intersepsi Nasional (PIN) dikelola dan dibentuk pemerintah, karena dibentuk dengan Keputusan Presiden.[3]
Catatan kritis ICW terhadap RPP tentang Penyadapan per 3 Desember 2009:
1. Pasal 4 ayat (4) teknis operasional pelaksanaan intersepsi dilaksanakan melalui Pusat Intersepsi Nasional. Intersepsi rekaman informasi disampaikan secara rahasia kepada aparat penegak hukum melalui Pusat Intersepsi Nasional
2. Pasal 8 Sertifikasi alat dan perangkat diatur dalam Peraturan Menteri
3. Pasal 11 ayat (2) Dewan Intersepsi Nasional bertanggungjawab pada Presiden (tugas mengawasi pelaksanaan intersepsi di Polisi, Jaksa dan KPK)
4. Pasal 21 ayat (2) Sebelum PIN dibentuk, Menteri dapat membentuk tim audit independen
5. Pasal 21 ayat (6) Jika PIN sudah terbentuk, intersepsi yg dilakukan penegak hukum harus melalui PIN
Presiden dan jajarannya di kabinet akan menjadi orang-orang yang sulit atau mustahil disadap jika Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Intersepsi (Penyadapan) disahkan. Presiden berperan membentuk Pusat Intersepsi Nasional dan mengangkat Anggota Dewan Pengawas Intersepsi Nasional. Selain itu ada enam instansi lain yang juga akan sulit disadap karena punya peran dominan bagi terlaksana atau tidaknya penyadapan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Enam instansi itu yaitu, Menkominfo, Jaksa Agung, Ketua PN Jakarta Pusat sampai Mahkamah Agung, Anggota PIN, Kapolri, dan Dewan Intersepsi Nasional. Kesulitan ini dapat berupa keputusan berlarut-larut atau infonya bocor.[4]
Pasca pembatalan pasal tersebut oleh MK, per 2015 Kemkominfo memprosesnya untuk membuat RUU TCI (Undang Undang Tata Cara Intersepsi). Meskipun RUU TCI ini tidak masuk dalam daftar longlist Program Legislasi Nasional 2015–2019, namun tidak menutup kemungkinan akan masuk dalam daftar kumulatif terbuka. Sehingga pilihan pertama usulan dimasukkan dalam prakarsa DPR dengan dititipkan dalam pembahasan RUU KUHAP inisiatif DPR. Alternatif kedua didasarkan pada usulan pemerintah yang dilatari pertimbangan kondisi tertentu serta harus mendapatkan izin prakarasa dari Presiden.[5]
3. Peran Pemerintah
Poin nomor 9 akan dijadikan Peraturan Pemerintah Peran Pemerintah dalam Pemanfaatan TIK. Akan tetapi, per 2016 PP ini tidak kunjung dibuat.
4. Perdagangan Elektronis
Terbaru, Pemerintah sedang menggodok dasar hukum untuk perdagangan elektronis atau e-Commerce. Meskipun bukan amanat UU ITE, tetapi ini merupakan amanat UU Perdagangan (pasal 66 ayat 4) dan mengacu kepada UU ITE dan UU Perlindungan Konsumen.[6] Selain itu memang perkembangan e-Commerce yang tumbuh cepat membutuhkan dasar hukum dan melindungi konsumen, produsen dan para pemain e-Commerce. Pembuatan RPP tersebut diharmonisasi oleh kementerian terkait seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Hukum dan HAM, Bank Indonesia serta Kementerian Perdagangan. Akan tetapi, meskipun naskah akademik RPP sudah beredar sejak tahun 2011,[7] pengesahannya molor dan tidak ada perkembangan hingga terdengar kembali pasca boomingnya e-Commerce diawal tahun 2015 dimana Presiden dan Menteri sudah berganti. Menteri Kominfo Rudiantara menjanjikan Blueprint e-Commerce untuk meningkatkan pertumbuhan e-Commerce dan akan bersama Menteri Perdagangan untuk merumuskan aturan e-Commerce[8]
Gugatan ke Mahkamah Konstitusi
1. Pencemaran Nama Baik
Pasal Pencemaran nama baik paling sering digugat ke MK. Terdapat dua kasus diawal UU ITE, yaitu PUTUSAN Nomor 50/PUU-VI/2008 dan Putusan Nomor 2/PUU-VII/2009. Dalam putusan tersebut, MK menolak permohonan pemohon bahwa Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Bahwa menurut Mahkamah, penghinaan yang diatur dalam KUHP (penghinaan offline) tidak dapat menjangkau delik penghinaan dan pencemaran nama baik yang dilakukan di dunia siber (penghinaan online) karena ada unsur “di muka umum”. Dapatkah perkataan unsur “diketahui umum”, “di muka umum”, dan “disiarkan” dalam Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP mencakup ekspresi dunia maya? Memasukkan dunia maya ke dalam pengertian “diketahui umum”, “di muka umum”, dan “disiarkan” sebagaimana dalam KUHP, secara harfiah kurang memadai, sehingga diperlukan rumusan khusus yang bersifat ekstensif yaitu kata “mendistribusikan” dan/atau “mentransmisikan” dan/atau “membuat dapat diakses”.[9]
2. Penghinaan SARA
Mahkamah Konstitusi (MK) juga menolak permohonan Judicial Review (uji materi) yang diajukan oleh pengacara Farhat Abbas. Farhat melakukan permohonan uji materi terhadap UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena terkena Pasal 28 ayat (2) gara-gara membuat pernyataan di media sosial twitter yang mengandung unsur penghinaan terhadap suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) terhadap Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Farhat dilaporkan ke Polda Metro tanggal 10 Januari 2013 oleh Persatuan Islam Tionghoa Indonesia. "MK menilai penyebaran informasi yang dilakukan dengan maksud menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan bertentangan dengan jaminan pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan individu. Dan bertentangan pula dengan tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum," jelas Arief, Hakim Konstitusi. Polisi akhirnya tidak meneruskan laporan kasus ini karena laporan telah dicabut dan Farhat telah berdamai.[10]
3. Tata Cara Intersepsi
Terkait RPP Penyadapan, Meskipun Mahkamah Agung menganggap hal itu sah karena tidak bertentangan dengan UU,[11] Mahkamah Kostitusi mengabulkan uji materi pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dengan begitu, Rancangan Peraturan Pemerintah Penyadapan, yang mengacu pada pasal itu, tidak bisa disahkan. "Mengabulkan permohonan untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Konstitusi Mahfud MD saat membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis 24 Februari 2011. Majelis menyatakan pasal itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dalam pertimbangannya, majelis berpendapat, penyadapan harus diatur oleh Undang-Undang.[12]
4. Bukti Elektronis
Terbaru, dalam skandal "Papa Minta Saham" tahun atau Kasus PT Freeport Indonesia 2015 membuat Mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto mengajukan permohonan uji materi atas Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta Undang Undang KPK. “Pemohon merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b UU ITE,” ujar kuasa hukum Novanto, Syaefullah Hamid, di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, seperti dikutip dari Antara, Kamis (25 Februari 2016). Adapun dua ketentuan tersebut mengatur bahwa informasi atau dokumen elektronik merupakan salah satu alat bukti dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan yang sah. Novanto juga merasa dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal 26A UU KPK terkait alat bukti elektronik yang sah. Novanto menilai bahwa ketentuan-ketentuan tersebut tidak mengatur secara tegas mengatur tentang alat bukti yang sah, serta siapa yang memiliki wewenang untuk melakukan perekaman.[13] "Perekaman yang dilakukan secara tidak sah (ilegal) atau tanpa izin orang yang berbicara dalam rekaman, atau dilakukan secara diam-diam tanpa diketahui pihak yang terlibat dalam pembicaraan secara jelas melanggar hak privasi dari orang yang pembicaraanya direkam," kata dia. Sehingga, bukti rekaman itu tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti karena diperoleh secara ilegal. Majelis hakim Ketua MK Arief Hidayat pun memberikan saran perbaikan permohonan, sebab tidak ada kedudukan hukum pemohon sebagai anggota DPR
Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang Perlu Dikritisi
Dalam UU ITE, terdapat beberapa “pasal karet” yang perlu direvisi, diantaranya adalah sebagai berikut:
UU ITE telah tujuh kali digugat di Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan yang terkait kebebasan berekspresi selalu ditolak. Hanya sekali saja gugatan terhadap pasal penyadapan dikabulkan pada tahun 2010. MK selalu menolak gugatan yang dilayangkan terkait UU ITE karena mereka masih percaya pentingnya UU ini. Mereka berpikir “kalau tidak ada pasal ini orang bebas menghina orang lain”.
Dalam revisi UU ITE pada 2016 juga ditegaskan bahwa untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil. Ada istilah "menjamin penghormatan dan hak kebebasan orang lain". Dengan kata lain, revisi tersebut tidak mengubah secara esensial persoalan yang ada di dalam UU ITE. Inti persoalan sesungguhnya ada pada masalah "interpretasi norma dan kriminalisasi".
Kriminalisasi termasuk dalam salah satu persoalan pokok hukum pidana. Mengandung pengertian bahwa dalam merumuskan suatu perbuatan menjadi tindak pidana haruslah hati-hati, tidak bisa dengan cara sembarangan. Pada kebijakan formulasi ketentuan pidana dalam UU ITE, dengan merumuskan kembali tindak pidana konvensional di dalamnya menimbulkan persoalan. Rumusan delik yang paling menonjol yaitu pada tindak pidana pencemaran nama baik dan/atau penghinaan.
Penghinaan pada hakikatnya merupakan perbuatan yang sangat tercela (dilihat dari berbagai aspek: moral, agama, nilai-nilai kemasyarakatan dan nilai-nilai HAM/kemanusiaan), karena "menyerang/merendahkan martabat kemanusiaan" (menyerang nilai universal); oleh karena itu, secara teoritik dipandang sebagai rechtsdelict, intrinsically wrong, mala per se dan oleh karena itu pula dilarang (dikriminalisir) di berbagai negara. Ketika terdapat permasalahan pada kebijakan in abstracto suatu UU, maka dapat berpotensi kebijakan in concreto juga bermasalah. Keadaan tersebut terbukti dalam UU ITE telah banyak memakan korban. Banyak orang yang seharusnya tidak tepat untuk dipenjara, akhirnya harus mendekap di penjara.
Pemerintah mencanangkan untuk melakukan revisi. Tetapi, ada juga yang mengusulkan adanya pedoman interpretasi. Artinya, ada permasalahan hukum terkait rumusan delik dalam UU ITE yang lahir dari tindak pidana konvensional. Padahal, rumusan delik dalam tindak pidana konvensionalnya yang ada di dalam KUHP (perbuatan-perbuatan tersebut tertuang mulai dari Pasal 310, 311 dan 316 KUHP, 207 dan 208 KUHP hingga Pasal 154-156 KUHP dan Pasal 160-161 KUHP), dapat dikatakan baik-baik saja, dan tidak ada persoalan. Hal inilah yang membingungkan dan sangat aneh.
Problematika UU ITE dan Dampaknya Bagi Kehidupan Masyarakat
Semakin besar pengaruh teknologi informasi dalam kehidupan manusia, maka semakin besar pula risiko teknologi informasi untuk disalahgunakan. Pada realitanya, banyak hal buruk yang dapat terjadi melalui teknologi informasi. Oleh karena itu, pemerintah merasa bahwa teknologi informasi tidak hanya perlu diperhatikan, tetapi juga perlu diatur dalam hukum.
Seiring dengan perkembangan teknologi internet, menyebabkan munculnya kejahatan yang disebut dengan Cyber Crime atau kejahatan melalui jaringan Internet. Adapun pengertian Cyber Law adalah aspek hukum yang istilahnya berasal dari Cyberspace Law, yang ruang lingkupnya meliputi setiap aspek yang berhubungan dengan orang perorangan atau subyek hukum yang menggunakan dan memanfaatkan teknologi internet/elektronik yang dimulai pada saat mulai “online” dan memasuki dunia cyber atau maya. Pada negara yang telah maju dalam penggunaan internet/elektronik sebagai alat untuk memfasilitasi setiap aspek kehidupan mereka, perkembangan hukum dunia maya sudah sangat maju.
Adapun yang merupakan ruang lingkup Cyber Law ada beberapa hal, antara lain: Hate Speech (penistaan, penghinaan, fitnah), Trademark (hak merek), Defamation (pencemaran nama baik), Copyright (hak cipta), Privacy (kenyamanan pribadi), Duty Care (kehati-hatian), Criminal Liability (kejahatan menggunakan IT), Hacking, Viruses, Illegal Access, (penyerangan terhadap komputer lain), Regulation Internet Resource (pengaturan sumber daya internet), Procedural Issues (yuridiksi, pembuktian, penyelidikan, dll.), Pornography, Robbery (pencurian lewat internet), Electronic Contract (transaksi elektronik), E-Commerce, E-Government (pemanfaatan internet dalam keseharian) dan Consumer Protection (perlindungan konsumen).
Adapun tujuan dari cyber law adalah yang berkaitan dengan upaya penanganan tindak pidana maupun pencegahan tindak pidana. Cyber Law menjadi dasar hukum dalam proses penegakan hukum terhadap kejahatan-kejahatan dengan sarana teknologi digital, termasuk kejahatan pencucian uang dan kejahatan terorisme. Intinya Cyber Law diperlukan untuk menanggulangi kejahatan Cyber. Munculnya beberapa kasus Cyber Crime di Indonesia, seperti pencurian kartu kredit, hacking beberapa situs, menyadap transmisi data orang lain, misalnya e-mail, dan memanipulasi data dengan cara menyiapkan perintah yang tidak dikehendaki ke dalam programmer komputer.
Instrumen hukum yang mengatur teknologi informasi adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 (UU ITE) menjadi cyber law pertama di Indonesia. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik merupakan undang-undang yang mengatur tentang Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik. Informasi Elektronik diartikan sebagai satu atau sekumpulan data elektronik, tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail/e-mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Sedangkan Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya.
Rekomendasi/ Usulan
Berikut rekomendasi/ usulan untuk pasal-pasal yang dinilai bermasalah dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE):
REFERENSI
Romli, Atikah Mardhiya, “UU ITE Dalam Perspektif Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi”, Dakwatuna Jurnal Dakwah dan Komunikasi Islam, Vol. 7 No. 2 (Agustus, 2021)
KumparanNews. Sejarah Terbentuknya UU ITE: Disahkan Era SBY, Sempat Direvisi Era Jokowi. Diakses pada 23 November 2022. https://kumparan.com/kumparannews/sejarah-terbentuknya-uu-ite-disahkan-era-sby-sempat-direvisi-era-jokowi-1vC3v5AMrhJ/1
Mahabarata, Yudhistira. Sejarah UU ITE: Megawati Ajukan Draf, Disahkan SBY, Berlanjut Sampai Era Jokowi. Diakses pada 24 November 2022. https://voi.id/memori/33702/sejarah-uu-ite-megawati-ajukan-draf-disahkan-sby-berlanjut-sampai-era-jokowi
Azizah, Laeli Nur. Memahami Apa Itu UU ITE dan Apa Saja yang Diatur di Dalamnya. Diakses pada 24 November 2022. https://www.gramedia.com/literasi/memahami-apa-itu-uu-ite/?utm_source=InvolveAsia&session_id=883f0f01ac954172936a34e7c3d2b466#%3A~%3Atext%3DJadi%2C%20UU%20ITE%20atau%20Undang%2Ctidak%20terbatas%20pada%20tulisan%20saja
Komentar
Posting Komentar